Electronic Resource
BILIK-BILIK PESANTREN
Membaca pesantren dalam paradigma modernis merupakan sebuah kajian yang sangat urgen sekaligus menarik. Karena, kita bisa mengetahui sejauh mana gaung pesantren dalam menghadapi cakrawala kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Hal itu juga bisa dihadapkan dengan kritikan-kritikan yang muncul terhadap pesantren. Kritikan berupa kredibilitasnya sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional Nusantara dalam menghadapi kemajuan teknologi dan merespon persoalan-persoalan kontemporer yang jamak bermunculan serta harus segera dicarikan solusinya itu.
Pesantren sebagai lembaga tradisional Islam, dengan meminjam pemetaan Sayyed Hossein Nasr, merupakan sebuah lembaga yang dikembangkan dan diwarisi secara turun-temurun oleh para ulama tradisional Islam semenjak beberapa tahun yang lalu. Substansinya tidak jauh berbeda dengan keberadaan kaum Salaf pada abad-abad pertama perkembangan agama Islam itu sendiri, yaitu periode para Sahabat Nabi Muhammad dan Tabi’in senior. Bahkan pesantren telah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha, sebagaimana yang dijelaskan oleh Cak Nur pada bagian awal dari buku Bilik-bilik Pesantren-nya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pesantren bukanlah anak kemarin sore yang tidak mempunyai andil ataupun pengalaman sedikitpun dalam membina kehidupan masyarakat Indonesia.
Ditilik dari tujuan dasarnya, pesantren adalah produsen terpenting dalam mempertahankan transmisi dan transfer ilmu-ilmu keislaman, sekaligus sebagai badan pengawas jalannya kontinuitas tradisi Islam serta reproduksi para ulama yang tafaqquh fiddin dengan menjadikan al-Qur’an dan Hadis sebagai objek kajiannya. Itulah sekurang-kurangnya tiga misi utama yang diemban dan diperjuangkan oleh lembaga ini. Di sisi lain, tidak sedikit alumnus-alumnus pondok pesantren yang mempunyai pengaruh penting dalam usaha mempersiapkan kemerdekaan republik ini di tahun 1945 yang silam. Tapi sayangnya peranan-peranan itu dianggap sebagai angin lalu yang tidak perlu diapresiasi sedikitpun oleh sebagian golongan, terutama bagi kalangan modernis.
Berbagai kritikan keras dan opini negatif pada saat ini, tengah dihadapi oleh pesantren. Khususnya dari kalangan modernis yang notabenenya berlatarbelakang sistem pendidikan Belanda atau lebih sering disebut dengan sistem pendidikan sekular (Barat). Mereka tak henti-hentinya mengupas sisi-sisi buruk pesantren serta menganggap keberadaan pesantren di era globalisasi saat ini sudah saatnya direkontruksi ataupun bahkan didekontruksi sama sekali dari sistem pendidikan nasional. Karena dianggap dapat mengantarkan umat manusia kepada pintu gerbang kejumudan dan keterbelakangan. Azyumardi Azra menukil seperti berikut :
“Bagi para eksponen sistem pendidikan Belanda, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, pesantren harus ditinggalkan atau setidaknya ditransformasikan sehingga mampu mengantarkan kaum Muslim ke gerbang rasionalitas dan kemajuan. Jika pesantren dipertahankan, menurut Takdir, berarti mempertahankan keterbelakangan dan kejumudan kaum Muslim”
Tidak begitu berbeda dengan Sutan Takdir, dalam bukunya Bilik-bilik Pesantren, Dr. Nurcholish Madjid, juga melontarkan sebuah sentilan kecil terhadap pesantren, yaitu :
“Kurangnya kemampuan pesantren dalam meresponi dan mengimbangi perkembangan zaman tersebut, ditambah dengan faktor lain yang sangat beragam, membuat produk-produk pesantren dianggap kurang siap untuk “lebur” dan mewarnai kehidupan modern.”
Dan masih banyak lagi sisi-sisi negatif pesantren yang dipandang oleh kalangan modernis semisal Sutan Takdir Alisyahbana, Nurcholish Madjid, dan lain-lain, sebagai sebuah aib ataupun kecacatan yang sudah sepatutnya didekontruksi demi mengantarkan Islam menuju kemajuan dan bangkit dari keterpurukan
Tidak tersedia versi lain